Little Girl With A Big Dreams
Little Girl With A Big Dreams
Judul Cerpen Little Girl With A Big Dreams
Cerpen Karangan: Upriani Rahman
Kategori: Cerpen Cinta Romantis
Lolos moderasi pada: 22 March 2017
Pernah mendengar tentang sebuah mimpi besar dari gadis kecil? Jika belum pernah biar aku beritahu kisah yang akan membuat siapapun yang membacanya akan tersenyum geli dan terharu.
Ketika itu aku masih lugu. Pernah bermimpi suatu hari seorang pangeran datang menjemputku untuk menikah dengannya. Ia menunggangi kuda putih. Membawa sebuket bunga lili putih. Ia juga membawa cincin berlian yang akan ia pasangkan di jari manisku.
Ketika itu, aku mendapati diriku dalam balutan gaun pengantin. Melihat sosok yang selama ini aku kagumi. Ia tersenyum, sangat manis dan menatapku penuh kasih. “Jadi kapan kamu bangun…?” dan.. ternyata itu semua hanya mimpi belaka.
Mimpi besar seorang wanita adalah menjadi seorang istri dari pria yang dicintainya. Ketika akhirnya ia bisa menjadi ibu dari anak-anak suaminya. Yang akan menjadi seseorang yang pertama kali suaminya lihat saat membuka mata dipagi hari. Itu sederhana. Hanya menjadi istri? Ya, mimpi besarku adalah menjadi istri dari tokoh K DRAMA yang sering aku tonton. Mau tau siapa dia? Telusuri sendiri.
Mimpi, satu kata dengan defenisi rumit. Waktu itu teman-teman yang lain heboh membicarakan mimpi mereka, ada yang ingin menjadi penyanyi dangdut seterkenal Evi Masambah, ingin menjadi seniman, menjadi wanita sholeha, bahkan ada yang sampai ingin masuk surga. Hehehe.. tentulah setiap insan yang telah menerima tiupan nyawa dari Allah akan mengharapkan tempat yang baik di sisi-NYA.
Dan perlu diketahui, Mimpi yang paling gila dari mimpi absurd teman-temanku adalah mimpiku. Karena aku ingin pergi ke Korea dan menikah dengan SONG JOONG KI, aktor terkenal setelah namanya meledak di Asia karena drama yang ia bintangi yaitu Descendants of the sun. hanya Alien yang tidak tau drama itu. Berhubung karena aku penikmat drama romantika yang akan membuat hormon jatuh cintaku kumat. Aku tak bedaya setelah melihat ketampanan dan sikap manis Song Joong Ki pada aktris lawan mainnya Song Hye Kyo. Sedikit promosi..
Bayangkan saja. Andaikan aku benar-benar punya kesempatan itu. Apa yang akan terjadi? Hmm.. Jreng.. Jrengg!
Pagi yang cerah, embun masih menyinggahi daun-daun segar yang menggantung di pepohonan. Bermandikan sinar matahari yang malu-malu menaiki langit. Udara segar tampa polusi terhirup kedalam paru-paru. Pagi yang sempurna untuk memulai hari ini.
Aku melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Tersenyum pada semua penghuni yang menikmati sarapan mereka. Hal yang selalu aku dapati saat turun dari kamar. Pandanganku tertuju pada sosok cantik dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Ia balas tersenyum, menarik kursi di sampingnya untuk kududuki.
“Pagi..” Ucapnya dengan senyum yang mengembang. Aku balas tersenyum. Tak menyangka ia sekarang benar-benar pulang ke rumah. Oh iya.. biar aku perkenalkan. Dia kakakku.
“Jadi, kakak beneran pulang ni? Nggak bakalan pergi lagi kan?” Tanyaku antusias. Ia tergelak diikuti Papa dan Pama.
“Tentu sayang… Kakak kamu akan tetap di sini sampai Oom Rudi sama anaknya datang..” Jelas Papa setelah menghabiskan sarapannya. Ia sibuk membaca surat kabar. Aku menyipitkan mata berusaha mengingat-ngingat siapa yang Papa maksud.
“Oom Rudi sama anaknya? Maksud Papa Oom Rudi yang punya anak gendut itu? Si Arnas Mahardjo? Anak Oom Rudi Mahardjo?” Tanyaku mencoba menebak.
“Iya. Mereka yang akan datang ke sini..” Mama menjawab. Ia beranjak ke arah lemari es. Dan kembali membawa secarik kertas. Aku menatap Mama heran.
“Kamu sama kak Reni nanti datang ke alamat ini, ya. Pasalnya, Oom Rudi bilang kalau anaknya sudah datang ke Indonesia sejak kemarin. Tapi dia harus ke rumah temannya dulu jadi kalian jemput dia ke rumah temannya.. ini alamatnya..” Mama memberi secarik kertas itu padaku. Aku mengamati tulisan yang tertera di sana. Alamatnya tidak asing. Pikirku.
“Trus Oom Rudi gimana? Bukannya hari ini ia datang ke Indonesia?” Tanya Kak Reni. Ia melirikku sebentar lalu menatap Mama.
“Papa sama Mama yang akan menjemputnya”
Jawaban Papa mengakhiri percakapan kami. Setelah sarapan aku dan Kak Reni melongos menuju alamat yang Mama maksud. Kami tidak terjebak macet berhubung masih pagi apalagi hari ini adalah hari minggu, hari libur untuk kebanyakan pekerja dinas seperti Mama dan Papaku.
Pantas. Alamat itu terasa tidak asing. Rumah Pedrik, mantan pacarku yang sudah tiga bulan sejak kami putus adalah alamat yang Mama maksud. Aku bersembunyi di balik punggung Kak Reni bermaksud tidak ingin dilihat oleh Pedrik. Meski sudah putus, yang namanya mantan pacar tetap saja aneh dan canggung saat kembali bertemu.
Kak Reni menatap heran melihat tingkahku bak kucing yang bersembunyi dari kejaran anjing. Ia menarikku ke arah pintu, memintaku mengetuk pintu. Dengan perasaan bergejolak, dengan ragu kupencet bel yang ada di sana dan berucap salam lalu mengetuk pintu. Tak sampai tiga kali mengetuk, sang pemilik rumah membuka pintu.
Seorang pria berwajah manis dengan mata sipit dan berambut blode, yang membat tatanan wajahnya terlihat sempurna. Ia putih dengan hidung mancung serta bibir yang.. entahlah aku tidak bisa mendiskripsikan segalanya. Yang jelas dia… perfect dan.. asing. Jelas dia bukan Pedrik, mantan pacarku ataupun pembantuya apalagi Papanya. Jadi dia siapa? Apakah..?
“BAMBAM…” Ucapku tampa sadar menyebut nama Bambam, member Got 7, boyband korea yang aku sukai dan gilai. Tapi ini bukan salahku. Salahkan dia yang memilki wajah menyerupai Bambam.
“Arnas..” Suara Kak Reni membuyar lamunanku. Segala khayalan liar tentang Bambam dan pria yang berdiri di hadapanku melebur tak tersisa dan menyusut entah kemana. Aku tersentak, baru sadar dengan panggilan Kak Reni untuk pria itu. jadi dia.. Arnas?
“Kak.. Jadi, dia Arnas? Arnas Mahardjo? Anak Oon Rudi.. dia kan dulu hany…” Ucapanku terpotong saat merasakan sebuah tubuh menubrukku hingga aku hampir terjatuh. Kulihat pria itu yang ternyata Arnas berjalan memasuki mobil yang aku dan Kak Reni kendarai tadi. Perasaan kesal mendera. Sikap yang sungguh kuang ajar!! Kesalku dalam hati.
“Hei.. Kak Reni dan…, kamu!. Cepat. ayo masuk, aku yang akan meyetir!!” ia berteriak. Sepertinya aku tidak lagi kesal melainkan marah hingga rasanya ingin menjambak rambut pirangnya itu. Aku berbalik, menatap Kak Reni yang malah terkikik entah kenapa.
“Kenapa sih Kak? Ada yang lucu ya?” Suara ketusku membuat Kak Reni menggeleng.
“Sudahlah.. ayo cepat!! Yang lain menunggu kita!!” Ia menarikku ke arah mobil. Dengan enggan aku mengikuti sembari meruntuki sikap Kak Reni dan Arnas. Mood manis pagi ini sepertinya berlalu digantikkan perasaan kesal tingat dewa..
Sampai di rumah, kulihat Papa, Mama dan seorang yang kuyakini Oom Rudi sedang berbincang di ruang tamu. Aku masuk, memasang wajah cemberut dan mimik malas. Aku langsung duduk di samping Papa, bersandar manja di lengan besarnya. Kuamati Arnas yang kini duduk berhadapan dengan Kak Reni di teras. Ia menatapku sebentar, lalu sibuk berbincang dengan Kak Reni. Mereka tampak sangat kenal dan dekat. Sesekali kudengar mereka tertawa. Apasih yang mereka bicarakan? Kenapa mereka bisa dekat seperti itu? Kesalku dalam hati.
Aku beranjak, berniat meninggalkan ruang itu menuju ke kamar. Kebersamaan dengan Kak Reni hari ini yang ingin aku ciptakan, mungkin tidak akan terjadi karena Arnas. Jujur aku cemburu. Tapi bukan untuk Arnas tapi Kak Reni. Meskipun si gendut Arnas telah bermetamorfosis menjadi sosok tampan menyerupai Bambam. Tetap saja aku enggan menyukainya untuk saat ini dan berharap kedepannya juga.
“Zena..”
Panggilan itu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh, Oom Rudi memintaku kembali duduk di antara mereka. Terpaksa, aku kembali dan memaksa tersenyum. Arnas dan Kak Reni juga sudah bergabung. Tiba-tiba suasana menjadi serius. Firasat buruk menghantuiku dan debaran jantungku menggila mendengar arah pembicaraan mereka.
“Apa..? Pernikahan?” Aku berujar syok mendengar pembicaraan mereka tentang pernikahnku dengan Arnas.
Aku menggeleng, melirik ekspresi tenang mereka. Arnas bahkan terlihat acuh mendengar seruan pernikan itu. Jelas-jelas kami tidak saling mengenal baik, Selain tentang masah kecil. Kami juga baru dipertemukan kembali hari ini. Beberapa menit lalu aku baru melihatnya. Dan kami bahkan belum pernah saling berbicara apalagi menyapa. Lalu apakah pernikahan itu bisa terjadi sedang kami belum saling mencintai.
“Tapi Pa, Ma, Oom, kami belum..”
“Kalian hanya perlu menikah, untuk saling mengenal.. Tenang saja Kami sudah putuskan akan memberi waktu seminggu. Dan Papa yakin cinta itu bisa tumbuh seiring kalian bersama..” Suara Papa terdengar tegas dan tidak terbantahkan.
Aku diam. Tidak tau harus menolak dengan cara apa. aku menatap Mama dengan mimik memohon agar ia membantuku menolak pernikahan itu. Mama tersenyum menyakinkan, itu artinya ia setuju dengan putusan Papa. Kali ini kutatap Kakakku, ia hanya teresenyum tulus, yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya. Aku hanya bisa pasrah. Aku berdiri, meminta pamit pada semua orang untuk ke kamar. Aku melangkah lemas. Merenungi kehidupan bebasku akan segera terenggut oleh kehidupan rumah tangga.
—
Aku panik saat mendengar ketukan pintu dari Mama. Mataku masih sembab akibat menagisi perjodohan itu. Papa dan mama sangat sensitif jika melihatku menangis. Yang ada jika Mama dan Papa melihat mata sembabku mereka akan mengira aku terpaksa menerima perjodohan itu, padahal memang iya. Karna itu aku putuskan untuk pura-pura terlelap. Guna menghindari konsekuensi itu.
Hingga aku tak lagi mendengar suara ketukan. Ataupun bising dilantai bawa. Kuputuskan turun ke dapur untuk mengisi perut yang kelaparan. Sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku menghidupkan lampu yang tadinya mati hingga..
“Aaakhhhh…” Teriakku ketakutan. Jantungku hampir meloncat keluar. Aku pikir yang aku lihat ini adalah sosok mahluk tak kasat mata tapi ternyata ia, Arnas. Ia duduk di salah satu kursi meja makan sambil memainkan handphone.
“Ka.. Kamu..? kamu di sini? Sedang apa? Mana yang lain?” Kusambar ia dengan pertanyaan. Ia meletakkan handphonenya dan melangkah ke depanku.
“Mereka pergi makan malam..?” Jawabnya datar.
“Tampaku..?” Tampa sadar aku memekik lalu menggaruk kepala yang tidak gatal akibat merasa malu. “Oh..” jawabku sok tenang. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. Aku terpaku, terpesona melihat ketampanan Arnas.
“Mama kamu bilang.. Kalau kamu marah karena perjodohan kita. Karena itu kamu tidak pernah keluar kamar. Makanya aku juga di sini.. menemanimu di rumah selagi orangtua kita mengurus perniakah kita.. Sekarang, kamu mau makan apa..?” Tanyanya. Ia bergerak ke arah lemari es, mengambil bahan makanan dan beralih ke depan kompor. Dia bisa memasak? Tanyaku dalam hati.
“Kamu tidak menolak atau keberatan dengan pernikahan ini..?” Aku mengamatinya yang sibuk membuat nasi goreng, permintaanku. Aneh memang, meminta dibuatkan nasi goreng, tengah malam begini oleh pria yang baru aku kenal tadi pagi.
“Aku tidak punya alasan untuk menolak..” Dia diam sejenak. “Dan juga aku sudah pernah berjanji pada gadis kecil untuk mewujudkan impian besarnya..” Jawabnya ambigu. Aku tidak mengerti maksud ucapannya.
“Maksudnya?” Aku menyeruakkan kebingungan. Ia tersenyum lagi, kali ini tersenyum lebar dan menatapku. Ia perlahan mendekat, aku refleks mundur hingga aku terkunci antara dirinya dan meja makan. Aku membeku, jantungku kontan berdetak cepat. Perasaan aneh menyeruak. Dan sekelebat masa lalu melintas. Aku terdiam dalam kebingunan.
“Tebak sendiri apa artinya..” Ucapnya lalu terkekeh melihat ekspresi anehku tadi. Ia kembali fokus dengan nasi gorengnya. Sedang aku diam menerka-nerka siapa sebenarnya dirinya. Aku kembali bertanya.
“Apa kamu menyukaiku…?” tak ada jawaban. Ia meletakkan nasi goreng yag sudah jadi di depanku. “Aggghh.. tidak. Maksudku.., Apa kita saling mencintai..?”
Spontan ia menoleh ke arahku mendengar pertanyaan bodohku tadi. Aku menggerutu. Mencaci mulutku yang berucap sembarangan. Entah kenapa pemikiran bodoh itu bisa melintas di otakku. Ia menarik satu kursi di dekatku. Meraih tanganku dalam genggamannya.
“Aku berjanji akan menjadi pangeran yang menunggangi kuda putih, membawa sebuket bunga lili putih, dan juga akan membawa cincin berlian yang akan aku pasangkan di jari manismu.. Aku akan datang untuk memintamu menikah denganku…”
Tubuhku bergetar. Ucapan ini.. bukankah…? belum sempat menebak lebih jauh. Ia melepas genggaman tangannya. Sebuah senyum misterius tercetak di wajah tampannya.
“Aku akan menyuruh Papaku membatalkan perjodohan ini.. jika kamu memintaku membatalkannya besok. Seminggu lagi pernikahan itu akan terjadi.. Aku tidak mau memaksamu menerimaku.. tapi aku mau hatimu yang menentukan pilihanmu padaku atau tidak..” Aku termenung. Tidak salah lagi. Dia, Arnas yang telah membuat janji itu dan datang menepatinya. Tapi kenapa aku tidak menginganya? Aku berdiri berniat menghampirinya tapi aku urungkan saat tiba-tiba ia bersuara.
“Maaf jika kedatanganku dalam hidupmu membuatmu menagis dan terluka. Aku akan pulang… Sebentar lagi Mama dan Papa kamu serta Kak Reni pulang. Sebaiknya habiskan makananmu.. aku pergi..”
Mataku memanas. Sesak memenuhi dada. Setitik air mata meluncur tak tertahankan. Aku menyesal, hampir melupakannya. aku amati punggungnya yang menghilang di balik pintu. Perlahan tubuhku bergetar, merosot tak berdaya. Aku menagis lagi, kuyakini aku akan menangis semalaman.
Benar dugaanku, semalaman menangis membuat mataku bengkak. Papa dan Mama jelas tahu tapi tidak memberi respon yang berarti. Pagi ini kami hanya sarapan bertiga Kan Reni tidak terlihat dimanapun. Aku putuskan bertanya pada Papa.
“Pa, Kak Reni ke mana? Sudah aku cari hampir di seluruh penjuru rumah tidak aku temukan.. dia kema..” belum selesai ucapanku. Kak Rena tiba-tiba muncul dengan Arnas. Mereka berdua masuk dengan bergandengan tangan membuat jantungku rasanya berhenti berdetak. Tubuhku oleng. Perasaan ini lagi yang kemarin sulit aku jabarkan. Marah melihat Arnas bersama wanita lain, walaupun itu Kakakku sendiri.
Kak Reni menghampiriku. Menyeruhku menemui Arnas tapi aku tolak. Hingga Kak Reni menyeretku paksa membuatku bertanya bingung apa maksud mereka. Tadi mereka mesra sekarang memintaku menemui Arnas. Itu sama saja bunuh diri karena rasa sakit mendera.
Kini, hanya aku dan Arnas di balkom. Setelah berhasil menyeretku, Kak Reni beralu entah kemana. Arnas berdiri membelakangiku. Kulihat sebuket bunga lili putih dan kotak cincin berada di tangannya. Apakah ia akan menepati janjinya sekarang? Tanyaku dalam hati. Perasaanku bimbang antara bahagia dan ragu.
“Aku perlu jawaban sekarang…” Tegas Arnas. Ia masih berdiri membelakangi. Aku diam. Menyakinkan diri untuk memberi jawaban pada Arnas
“Aku… Tidak..”
Belum sampai jawabanku. Arnas berbalik menatapku kecewa. Tatapan terluka yang ia berikan membuatku menyesal telah salah dalam memberi jawaban. Ia mendekat ke arahku. Kami saling diam beberapa menit. Hingga ia bersuara.
“Apa karena aku tidak setampan aktor Soong Jong Ki yang kamu sukai? Tapi, setidaknya aku sedikit lebih mirip dengan Bambam..” Ia mengacak rambutnya gusar. “Apa karena kamu cemburu pada Kak Rena dan aku..? kami pergi bersama hanya untuk membeli cincin untukmu…” Ia mengambil cincin dari kotak cincin itu. “Atau kerena aku dan Pedrik, mantan pacarmu bersahabat hingga kamu tidak bisa menerimaku Zen…”
Kali ini kulihat setetes air mata menetes dari matanya. Aku terluka melihat kesalah pahamannya. Sebenarnya siapa yang bodoh disini? Aku, apa dia..
Aku melangkah lebih dekat ke arahnya. Mengambil cincin itu dan memasangnya sendiri di jariku lalu mengambil bunga lili itu dan menghirupnya. Aku melihat stelan jas yang ia kenakan berwarna putih. Persis seperti janjinya dulu, hanya saja ia tidak benar-benar menunggangi kuda putih melainkan datang dengan sedan putih.
Arnas menatap heran tingkahku. Aku berikan senyum paling manis yang aku punya lalu memegang kedua tangannya. Perasaan haru tiba-tiba menyeruak.
“Jangan hobi memetong pembicaraan orang..” Ketusku. Aku membuka cincin dari jariku lalu menyimpannya ditelapak tangannya. Ia mengernyit semakin heran.
“Ayo, cepat, pasang cincin itu di jariku..” Ucapanku membuatnya melongo. Ia menatapku tak percaya. Mungkin baru sadar dengan arti jawabaku tadi. Tatapan kecewa tadi berubah menjadi binar harapan. Sebuah senyum merekah terbit dibibirnya.
“Jadi.. kamu mau menikah denganku..?” Tanyanya memekik. Tanpa ragu aku mengangguk, spontan ia melompat girang dan mengangkat tangan di udara.
“Yes…!!” Serunya. Hampir saja ia memelukku jika yang lainnya tidak menghampiri kami.
Aku tahu dari tadi mereka mencuri dengar pembicaraan kami. Mama, Papa, Oom Rudi dan Kak Reni tersenyum bahagia. Rencana perjohohan mereka benar-benar akan terlaksana. Aku dan Arnas bahkan tidak butuh waktu seminggu untuk saling mengenal dan tidak perlu waktu yang lama untuk belajar mencintai satu sama lain. Karena perkenalan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Ketika aku masih lugu dan Arnas masih seorang bocah laki-laki gendut yang berjanji akan memenuhi mimpi besar dari gadis kecil sepertiku. Sebuah hal sederhana yang aku pikir itu adalah hal terbesar yang diinginkan gadis kecil sepertiku. Hingga cinta itu tumbuh tak diduga dan berkembang hingga sekarang.
Kami berkumpul di ruang tengah. Mama, Papa dan Oom Rudi sibuk berbicara dengan Wedding Organizer yang akan mengurus pernikanku dan Arnas. Kak Reni dan Pedrik, yang baru saja datang sibuk memilihkan gaun pengantin dan texudo untukku dan Arnas. Aku hanya duduk memerhatikan mereka. Senyuman bahagia tak pernah lepas dari bibirku. Arnas datang membawakan makanan untukku. Berjongkok di hadapanku lalu meraih tanganku. Ia meletakkan piring yang berisi nasi goreng persis kemarin malam yang ia buatkan untukku di tanganku. sikapnya sungguh membuat perasaanku terbang melambung ke awan. Jantungku yang berdetak menggila dengan irama yang tak beraturan kini aku sukai. Aku mencintainya, lagi dan lagi setiap kali melihatnya, akan bertambah seiring aku memikirkannya.
“Aku boleh jujur tidak..?” Tanyanya masih dengan posisi yang sama. Aku beri anggukan membuat ia tertawa kecil.
“Aku mencintaimu.. My Little girl with a big dream” ucapnya tegas.
Tampa bisa aku tahan, air mata haru menyeruak keluar. Mimpi saat aku masih kecil dulu telah terwujud oleh pria yang sangat aku cintai. Thanks god.. atas kebahagian ini..
Komentar
Posting Komentar